Kecanggihan teknologi internet dan era digital yang berkembang sangat pesat, telah mampu menghasilkan kualitas visual dan interaksi elektronik (on-line transactions) yang semakin setara dengan nilai interaksi nyata (off-line transactions). Kompetisi global, secara agresif, telah mendorong pengggunaan kekuatan teknologi informasi, tidak lagi terbatas pada tindakan otomasi terhadap proses produksi, visualisasi produk dan media bertransaksi, tetapi juga telah melangkah pesat, termasuk pada proses digitalisasi data dan pelayanan hukum melalui kehadiran mesin-mesin (robot) dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence-AI). Secara menakjubkan, AI telah semakin mampu menyerupai konstruksi berfikir kognitif manusia (human intelligence). Mulai dari kemampuan mengingat, menerjemahkan, menganalisis hingga pada kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum.
Pekerjaan-pekerjaan advokat yang berbasis pengumpulan data (data collection), pemberian arti atau analisis makna dari suatu terminologi, atau peristiwa yang dilekatkan pada sejarah data (historical data)
dan bersifat terstuktur dan terukur, termasuk interpretasi dan analisis
kontrak komersial standar, merupakan pekerjaan-pekerjaan yang mulai
dengan mudah diambil alih oleh mesin-mesin cerdas dari tangan para
advokat. Contohnya, Deloitte dalam publikasi Harvard Journal of Law and Technology
mengklaim bahwa dalam masa waktu 10 tahun ke depan, sekitar 39 persen
dari pekerjaan advokat dapat diotomasi, berpindah pada kemampuan
mesin-mesin cerdas tersebut.
Media the Independent terbitan 28 Februari 2017 juga memberitakan bahwa mesin pintar bernama COIN (Contract Intelligence)
yang dioperasikan oleh JPMorgan dinyatakan mampu menganalisis suatu
perjanjian kredit hanya dalam hitungan detik, dengan tingkat kesalahan
yang minimum. Software cerdas tersebut bahkan telah mampu menghemat
sekitar 360.000 jam dari waktu yang biasanya diberikan kepada advokat
untuk melakukan pekerjaan yang sama dalam satu tahun.
Pekerjaan-pekerjaan yang diambil alih AI pada umumnya masih merupakan bentuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pola terformat (formatted template),
yakni pekerjaan-pekerjaan oleh para advokat junior (yang walaupun dalam
proses akhir hasil pekerjaan, akan didampingi oleh advokat senior).
Tetapi, pertumbuhan teknologi kecerdasan dari mesin-mesin buatan manusia
diyakini tidak akan berhenti, dan terus berkembang menuju kesempurnaan.
Dalam pengertian robotik, akan semakin mampu menghasilkan karya-karya
layanan jasa hukum yang bersifat analitis, taktis dan situasional dengan
hasil yang lebih akurat, lebih cepat dan lebih murah daripada
menggunakan jasa advokat.
Tidak mengherankan, seperti yang ditulis oleh Gary E. Merchant, bahwa
media-media Barat sejak beberapa tahun lalu telah membunyikan lonceng
peringatan bagi para advokat dengan judul-judul berita, misalnya: “Why hire a lawyer? Machines are cheaper.” atau “Armies of expensive lawyers replaced by cheaper software”, atau “You should stop practicing law now and find another profession”.
Lonceng peringatan tersebut tidak hanya berdentang di negara-negara
maju seperti Eropa, Jepang, atau Amerika, tetapi juga Indonesia.
Bagaimanapun, Indonesia adalah bagian tidak terpisahkan dari pertumbuhan
aktivitas perekonomian global, dan telah pula secara pasti menyatakan
kesiapan menghadapi revolusi industri 4.0.
Saat ini ada sekitar 60 ribu advokat Indonesia, baik yang berprofesi di kantor-kantor hukum maupun perusahaan-perusahaan (in-company lawyers)
di seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, ada begitu banyak mahasiswa
Indonesia yang sedang mempelajari hukum di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia, termasuk pula yang sedang mendalami program magister hukum
atau bahkan program doktoral dengan kekhususan Ilmu Hukum. Apakah memang
betul, dengan kehadiran AI, profesi advokat tidak lagi dibutuhkan di
masa yang akan datang?
Jawabnya, “tentu masih dibutuhkan”. Advokat adalah profesi yang tidak
sepenuhnya dapat digantikan oleh AI. Sebagai profesi yang terhormat (noble profession),
kemampuan manusia sebagai pemilik inteligensia dan jiwa yang sempurna
tidak dapat tergantikan seluruhnya oleh AI. Pada satu tahapan memberian
jasa hukum, seperti yang telah dijelaskan di atas, memang akan
memungkinkan diambil alih AI melalui proses otomasi. Tetapi, pada
tingkat pemberian jasa hukum yang membutuhkan akurasi dan tingkat
profesionalitas penanganan yang tinggi, misalnya pendampingan pelaku
usaha dalam proses pembangunan usahanya sejalan dengan ketentuan hukum,
pendampingan atau mewakili pelaku usaha dalam bernegosiasi, mewakili
pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa baik di dalam maupun di luar
pengadilan (atau melalui alternatif penyelesaian sengketa), tidak
memungkinkan sepenuhnya digantikan oleh AI.
Hal yang menjadi poin adalah walaupun profesi advokat tidak dapat
sepenuhnya digantikan oleh AI, harus pula dicatat bahwa bagian-bagian
pelayanan jasa hukum yang telah memungkinkan untuk diambil alih AI juga
tidak kecil. Ini juga telah mengakibatkan tantangan pasar pelayanan jasa
hukum (legal services) yang tidak mudah bagi para advokat, antara lain, sebagai berikut:
- Peran advokat yang sebelumnya sangat sentral dalam penerjemahan istilah-istilah hukum dan bisnis, atau penjelasan tentang undang-undang, atau peraturan perundang-undangan, semakin hari semakin menurun. Misalnya dengan kehadiran mesin Google dan software AI lainnya.
- Kehadiran AI yang, paling tidak telah mengambil alih peran-peran pekerjaan (pemberian jasa pelayanan hukum) yang bersifat terukur dan terstruktur oleh muatan data besar yang secara algoritma meresponnya, membuat pola-pola pelayanan hukum menjadi lebih efisien, cepat dan terukur, sehingga akan lebih murah.
- Selain menghasilkan bentuk-bentuk pelayanan yang lebih cepat, terukur dan lebih murah, keadaan tersebut akan secara sangat signifikan mempengaruhi dasar rekrutmen “sarjana-sarjana hukum atau advokat-advokat muda” di kantor-kantor hukum, khususnya kantor-kantor hukum besar yang lebih menekankan pemberian jasa pada hukum-hukum korporasi yang bersifat non litigasi, karena kantor-kantor hukum besar cenderung akan membeli teknologi software AI.
- Walaupun saat ini belum terlalu menyentuh kantor-kantor hukum yang berbasis litigasi saat ini, akan tetapi secara perlahan, era digital dan kekuatan AI akan semakin memasuki format pelayanan hukum di bidang litigasi, karena pengadilan-pengadilan (termasuk juga penyelesaian sengketa melalui arbitrase) juga sudah mulai menggunakan teknologi digital dengan pola interaksi yang semakin mengarah on line, termasuk juga pada tahapan-tahapan penanganan sengketa.
Beberapa catatan di atas tidak akan berguna jika hanya dilihat
sebagai suatu ancaman. Sebaliknya, catatan itu harus dilihat sebagai
tantangan untuk menciptakan peluang-peluang baru bagi profesi advokat,
khususnya bagi para advokat Indonesia ke depan. Artinya, advokat-advokat
Indonesia harus sangat memahami bahwa, suka atau tidak suka, dunia
pelayanan hukum Indonesia akan semakin terkoneksi dengan standarisasi
pelayanan hukum global yang menjadi dasar anutan dari pelaku-pelaku
bisnis global, lembaga-lembaga profesi dan pemeringkatan serta
lembaga-lembaga keuangan global. Indonesia sebagai bagian dari global investment destination
tentulah tidak dapat dengan begitu saja menyatakan penolakan ataupun
penundaan terhadap standar penerapan dan kualitas pelayanan hukum global
tersebut.
Menjadi sangat penting untuk mengingat kembali nasihat dari Prof.
Sunaryati Hartono, yang menekankan bahwa globalisasi adalah suatu
keniscayaan yang tidak mungkin untuk ditolak, atau ditunda kehadirannya.
Menurut ahli Hukum Perdata Internasional ini, di satu sisi, tindakan
yang terbaik dari suatu negara adalah sedini mungkin mempersiapkan diri
untuk dapat secara maksimal menikmati setiap kebaikan-kebaikan yang
diciptakan oleh globalisasi ketika hadir. Di sisi lain, secara maksimal
juga siap untuk mengantisipasi setiap efek negatif yang diciptakannya.
Nasihat ini harus tertanam kuat tidak hanya pada para advokat dan setiap
aparatur negara Indonesia, tetapi juga secara khusus pada cara pandang
dan sikap bergerak dari setiap perguruan tinggi di Indonesia, khususnya
yang memiliki Fakultas Hukum.
Semua Fakultas Hukum di Indonesia harus memahami secara
sungguh-sungguh konsekuensi dari kehadiran AI-- yang semakin hari
semakin menyempurnakan kekuatannya mendekati kesempurnaan manusia --
untuk secara sungguh-sungguh pula membangun kualitas kurikulum
pendidikan yang benar-benar mampu menghasilkan sarjana-sarjana hukum
yang mampu bersaing. Persaingan advokat-advokat Indonesia ke depan,
tidak sekadar persaingan yang timbul dari kehadiran AI, tetapi juga
persaingan yang timbul dari kehadiran advokat asing dalam profesi
pelayanan jasa hukum pada aktivitas bisnis di Indonesia. Oleh karena
itu, tidak bisa dihindarkan bahwa fakultas-fakultas hukum Indonesia
haruslah:
- Tidak hanya memahami, tetapi juga harus akrab dengan setiap tahap perkembangan era digital, dan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum yang wajib untuk dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa hukum Indonesia.
- Membangun kurikulum pendidikan yang tidak hanya berbasis pengajaran pada ilmu hukum semata, tetapi juga pemahaman terhadap ilmu-ilmu lainnya. Misalnya ilmu ekonomi, moneter, akuntansi, sosiologi dan budaya dengan sangat baik, tidak hanya sekadar pelengkap.
- Mewajibkan pemahaman yang sangat baik terhadap penggunaan bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris, karena gerakan global revolusi industri 4.0 akan membuat lulusan-lulusan Sarjana Hukum Indonesia tidak akan berdaya global jika tidak memahami bahasa Inggris, sebaik bahasa Indonesia.
- Membangun perpustakaan digital (digital library) dengan kapasitas informasi dan ketersediaan ilmu yang maksimum dan mudah diakses.
Membangun mentalitas mahasiswa-mahasiswa hukum untuk mengutamakan
kejujuran dan perilaku baik, karena dengan kejujuran dan perilaku
baiklah kualitas terbaik dari otak manusia dapat dikembangkan secara
maksimal.
Selain perguruan tinggi, arah kesiapan advokat Indonesia dalam
menghadapi era digital, juga sangat ditentukan kesiapan dan kesungguhan
organisasi advokat yang menaungi advokat-advokat di Indonesia. PERADI
yang lahir sebagai wujud dari visi “tekat bersatu advokat di Indonesia”
haruslah membuktikan kehadirannya guna merealisasikan profesi advokat
yang kuat dan terhormat seperti yang dicita-citakan. PERADI harus
benar-benar menjalankan pola dan kualitas persyaratan yang ketat dalam
proses penerimaan advokat, begitu pula kewajiban-kewajiban bagi para
advokat untuk menjalani pendidikan lanjutan (continuing education)
sebagai cara untuk terus dapat meningkatkan kemampuan mereka menghadapi
semakin beratnya persaingan kualitas dalam pemberian layanan hukum,
baik di pasar Indonesia, maupun di pasar pelayanan jasa hukum global
yang semakin dilekatkan dengan fungsi AI.
Sayangnya cita-cita para senior advokat Indonesia yang telah
bersusah payah menggagas dan memperjuangkan kelahiran dari PERADI masih
sulit untuk terwujud melihat fakta bahwa PERADI justru terperangkap pada
pertikaian yang lebih didasarkan pada semangat berkuasa.
Lonceng-lonceng peringatan ancaman globalisasi dan dominasi AI tersebut
seharusnya segera menyadarkan para advokat Indonesia bahwa pertikaian
tidak akan menghasilkan apapun kecuali perpecahan.
Perpecahan akan mengakibatkan sulitnya advokat Indonesia mendapatkan
pengakuan dan penghargaan dari lembaga-lembaga lain dalam pelaksanaan
profesinya, tidak hanya di pasar global, tetapi juga di Indonesia. Oleh
karena itu, cita-cita satu PERADI sebagai konsolidasi kekuatan dan
harapan masa depan profesi advokat yang kuat dan bermartabat haruslah
segera dikembalikan.
Memang, advokat Indonesia tidak lagi dapat semata-mata mendasarkannya
hanya pada peran pembentukan dan pengembangan yang dimaksudkan dari
kedua perguruan tinggi dan organisasi advokat seperti yang telah
dijelaskan, karena tidak ada yang bisa dikembalikan ke belakang. Semua
bergerak maju. Sehingga yang dibutuhkan bagi advokat-advokat Indonesia,
khususnya generasi muda, haruslah segera melakukan perbaikan dan
peningkatan kemampuannya, antara lain dengan:
- Melakukan kembali pendalaman terhadap materi-materi hukum Indonesia dengan membaca buku-buku hukum serta mengikuti pendidikan-pendidikan (baik dalam bentuk training ataupun workshop) yang berkualitas dan bermutu;
- Memperluas pemahaman keilmuan tidak terbatas hanya pada ilmu-ilmu hukum, tapi juga ilmu-ilmu penunjang lainnya, baik melalui buku-buku bacaan ataupun mengikuti pendidikan-pendidikan yang bermutu;
- Memperbaiki kemampuan penggunaan bahasa Indonesia, untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan secara baik dan benar;
- Meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris secara fasih, untuk memastikan kemampuan membaca dan memahami dokumen dan sumber-sumber pengetahuan berbahasa Inggris, serta juga berkomunikasi ataupun memberikan pemikiran-pemikiran ataupun nasihat hukum secara tertulis.
- Membangun atau meningkatkan pemahaman terhadap penggunaan media internet, baik dalam pembangunan pola penyajian layanan hukum ataupun kemampuan mengandalikan AI untuk peningkatan kecepatan dan kualitas pelayanan hukum.
- Menghadiri pertemuan-pertemuan ataupun seminar internasional yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ataupun organisasi internasional secara teratur, untuk semakin dapat mengembangkan cakrawala pengetahuan dan berfikir serta juga meningkatkan pergaulan;
- Mengasah kemampuan secara teratur dan disiplin melalui penulisan artikel-artikel hukum untuk dipublikasikan, karena dengan publikasi materi-materi pemikiran dalam artikel tersebut, pertumbuhan kualitas ilmu akan lebih mudah dikenal oleh masyarakat;
- Memastikan untuk tidak memberi ruang pada aktivitas-aktivitas pelayanan hukum dengan cara-cara curang dan bersifat koruptif.
Harus diakui bahwa delapan langkah peningkatan kualitas tersebut di
atas tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi upaya untuk
membangun kemampuan berbahasa Inggris, baik secara lisan maupun tulisan.
Namun kualitas yang dibutuhkan untuk dapat memenangkan persaingan
global haruslah didasarkan pada kemampuan keilmuan dan penguasaan bahasa
internasional yang paling tidak, harus setara dengan advokat-advokat
asing di pasar global.
Demikian pula halnya dengan ancaman kehadiran AI, kualitas keilmuan
dan profesionalitas seorang advokat adalah kemampuan yang tidak akan
mungkin dapat digantikan. AI tidak memiliki jiwa dan perasaan sempurna
layaknya manusia. Sehingga untuk tetap survive, advokat-advokat
Indonesia haruslah membangun kemampuan keilmuan yang berkualitas sangat
baik dengan didukung oleh moral baik untuk melahirkan kualitas-kualitas
pelayanan hukum yang benar, berkeadilan dan berkepastian hukum