Html

Entri yang Diunggulkan

Profil Pengacara Semarang

PROFIL  DAN KEAHLIAN Menyediakan        dan   melayani      kebutuhan      dunia    usaha     dan bisnis,    lembaga,    ...

Translate

Selasa, 24 Mei 2016

Konsep Penegaka Hukum Lingkungan Di Indonesia






KONSEP PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
 DI INDONESIA
Bye : Pengacara Semarang


     I.     PENDAHULUAN

Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap orang. Manusia bernafas dan mendapat terang cahaya karena ada udara dan matahari, demikian juga kebutuhan manusia dengan mendapat makan, minum, bertani, membuat rumah, mandi dan berteduh adalah dari lingkungan.[1]  Luas daratan Indonesia  sebesar 191,944,000 ha, dimanfaatkan untuk pertambangan seluas 66.891.496 ha, Hak Pemilikan Hutan seluas 38.025.891 ha, Hak Tebang Industri seluas 7.861.251 ha, Perkebunan Kelapa Sawit seluas2.957.079 ha, Hutan Lindung seluas 31.900.000 ha, dengan demikian seluruhnya berjumlah 170.935.717 ha, dan yang tersisa adalah 21.008.283 ha.
Dampak dari berbagai kegiatan yang bersifat eksploitasi tersebut paling besar dirasakan oleh masyarakat sekitar, misalnya seperti yang dialami oleh Masyarakat adat Amugme dan Komoro di Papua, di wilayah ini terdapat operasi pertambangan emas dan tembaga yang berlangsung lama dengan skala eksploitasi besar, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat di antaranya pencemaran sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di dalamnya, hujan asam, pengaruh terhadap kesuburan tanah. Hal lain juga menyebabkan hilangnya keragaman budaya masyarakat setempat karena musnahnya ekosistem masyarakat adat.[2]
Praktek Good Environmental Governace dalam beberapa tahun ini di Indonesia menjadi sorotan publik. Kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas lingkungan seringkali dihubung-hubungkan bahkan sering dinyatakan bahwa penyebabnya adalah adanya Environmental Governace yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang semestinya. Kondisi ini sebagai akibat dari penyelengaraan corporate governance yang tidak memenuhi standar pengelolaan suatu institusi atau perusahaan. Penyimpangan ini ditandai dengan lemahnya penegakan hukum, pengadilan yang tidak mandiri, dan budaya KKN dalam aparatur birokrasi, dan kurang maksimalnya peran masyarakat.[3]
Program pembinaan hukum lingkungan secara terpadu memang merupakan keharusan mengingat luasnya cakupan sektor pembangunan yang harus dikelola secara simultan. Hal ini menuntut kalangan hukum untuk melakukan pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral. Beberapa sektor yang terkait dapat disebutkan diantaranya sektor kependudukan, kesehatan, transmigrasi, pemukiman dan perumahan, pertambangan, perindustrian, pertanian, kehutanan, kelautan, perdagangan, perikanan, pengairan, penataan ruang, dan sektor-sektor lain.[4]
Tonggak sejarah politik hukum dari jaman kolonial ke jaman nasional dimulai tanggal 17 Agustus 1945 dengan adanya pernyataan Proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Semua aturan yang dibuat dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan masyarakat harus bersumber kepada sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila dan sumber tertib hukum yang tertinggi Undang- Undang Dasar 1945. Kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah menyangkut pertanyaan “apa yang ingin dicapai, bagaimana dan jalan apa, dengan cara apa pengelolaan lingkungan dilaksanakan.[5]
Pengaturan permasalahan lingkungan hidup di Indonesia mengalami beberapa lompatan besar sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan terakhir digantikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Salah satu yang menjadi perhatian dalam ketiga undang-undang ini adalah makin kuatnya peran negara dalam rangka menyediakan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai sarana rakyat Indonesia berkehidupan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Pokok persoalan lingkungan hidup di negara maju dan negara berkembang adalah terletak pada ketidak seimbangan dalam lingkungan hidup yang merupakan hal pokok bagi pri kehidupan manusia.[6]
Landasan fisolosois, sosiologis dan yuridis dan pembentukan undang-undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain, adalah dalam rangka untuk mendayagunakan sumber daya alam (SDA) guna memajukan kesejahteraan umum, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila. Untuk hal itulah, maka dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu, menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah hukum lingkungan berkaitan dengan konsep penegakan hukum lingkungan di Indonesia yang berlaku setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

  II.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut di atas, dirumuskan permasalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
2.      Factor-faktor apa saja yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
III.     PEMBAHASAN
A.    Konsep Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, hukum lingkungan merupakan instrumen administrasi negara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hukum lingkungan menjadi pedoman dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Norma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi pedoman dalam penyelenggaraan perizinan bidang lingkungan hidup.
Penaatan dan Penegakan hukum lingkungan tidak hanya melalui proses di pengadilan dan penegakan hukum tidak hanya merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum. Karena penegakan hukum dapat dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata, dan sanksi pidana, serta penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat.

1.      Bidang Administrasi
Menurut Sthal sebagaimana dikutip oleh Masbudi, unsur pokok negara hukum yang dikemukakan oleh para pendahulunya, perlu ditambah 2 (dua) unsur pokok lagi, pertama, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu. Dalam hal ini negara, baru dapat bertindak menyelenggarakan kepentingan rakyat kalau sudah ada undang-undang untuk tindakan tersebut. Kedua, peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dan rakyat dengan persyaratan, peradilan tersebut harus tidak memihak dan pelaksanaannya harus dilakukan oleh ahli hukum dalam bidang tersebut.[7]
Dalam suatu negara hukum, hukum yang baik adalah hukum yang diterima oleh rakyat, karena mencerminkan kesadaran hukum dari rakyat. Untuk melaksanakan hukum yang baik tersebut diperlukan wewenang perangkat administrasi negara yang terbatas atau dibatasi oleh hukum. Instrument hukum administratif berbeda dengan instrument lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan.
Dengan demikian efektifitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administrative tercantum dalam pasal 76-83 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan ketentuan tersebut pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai ijin dan apabila tidak akan dikenakan sanksi pencabutan ijin usaha oleh pejabat yang berwenang.
Sesuai Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Instrument hukum administratif berbeda dengan instrument lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian efektifitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam Pasal 76-83 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan ketentuan tersebut pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai ijin dan apabila tidak akan dikenakan sanksi pencabutan ijin usaha oleh pejabat yang berwenang.
Di dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mengatur tentang sanksi administrasi. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif terdiri atas  teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.
Pasal 80 ayat (1) mengatur tentang paksaan pemerintah kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang yang melanggar izin lingkungan berupa :
a.       Penghentian sementara kegiatan produksi
b.      Pemindahan sarana produksi
c.       Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
d.      Pembongkaran
e.        Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f.       Penghentian sementara seluruh kegiatan
g.      Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguranapa bila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a.       Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup,
b.      Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya
c.       Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran atau kerusakannya.
Upaya yang lebih dulu harus dilakukan adalah upaya yang bersifat compliance yaitu penaatan hukum atau pemenuhan peraturan, atau penegakkan preventif dengan pengawasan preventifnya. [8]
Siti Sundari Rangkuti berpendapat bahwa penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa kongkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar, adapun instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah :
a.       Penyuluhan.
b.      Pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan seperti pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya.[9]
Berdasarkan hal tersebut dengan demikian penegak hukum yang paling utama adalah aparat pemerintah yang berwenang memberi izin. Penegakan hukum yang represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Selanjutnya menurutnya instrumen penegakan hukum adalah sarana administratif yang bersifat preventif dan bertujuan menegakan peraturan perundang-undangan lingkungan.
Sarana administratif dapat diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan perizinan. Sarana administrasi dengan sanksi administrasinya mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Sarana penegakan hukum administratif adalah :
a.         Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (Bestuursdwang).
b.         Uang paksa (Publiek rechtelyhe dwangsom).
c.         Penutupan tempat usaha (Sluiting van een inreichting).
d.         Penghentian kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruik stelling van een toestel)
e.         Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintahan, penutupan dan uang paksa.[10]
Pengutamaan penegakan hukum melalui sarana hukum administrasi terutama berpijak pada beberapa alas an utama :
a.         Befungsi sebagai saran pengendalian, pencegahan dan penanggulangan perbuatan ang dilarang.
b.         Instrument yuridis hukum administrasi yang bersifat preventif dan berfungsi untu mengakhiri atau menghentikan pelanggaran lingkungan.
c.         Bersifat reparatoir (memulihkan keadaan semula).
d.        Sanksi administrasi tidak perlu melalui proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
e.         Sebagai sarana pencegahan dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana.
f.          Biaya penegakan hukum administrasi yang meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian laboratorium lebih urah dibandingkan dengan biaya pengumpulan bukti dan biaya saksi untuk membuktikan aspek kausalitas(hubungan sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.[11]

2.      Bidang Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  menetapkan sanksi maksimum yang terdapat pada pasal 98-120. Dalam penerapan instrument hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Meskipun tidak selalu dikatakan sebagai respons yang berhubungan dengan kelemahan KUHP lama, di luar KUHP telah muncul berbagai perkembangan hukum. Di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, berbagai undang-undang baru muncul (undang-undang sektoral), yang masing-masingnya dicanteli dengan pengaturan tentang tindak pidana. Sebagian tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana administrasi,2 seperti pengaturan di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur sanksi pidana dengan pola double-track system, yaitu memuat sanksi pidana dan sanksi berupa tindakan tata tertib.[12]
Pidana administrasi tersebar di berbagai undang-undang sektoral di Indonesia. Pidana ini merupakan bagian dari sanksi administrasi karena dikenakan kepada pelanggaran-pelanggaran atas hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief, hukum administrasi pada dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan maka hukum pidana administrasi sering disebut sebagai hukum pidana pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (ordnungstrafrecht/ ordeningstrafrecht). Selain itu, kata Barda, istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata pemerintahan, sehingga istilah hukum pidana administrasi juga ada yang menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan (verwaltungsstrafrehct/ bestuursstrafrehct).
Dengan demikian, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan atau menegakan hukum administrasi. Jadi, pidana administrasi merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana di bidang hukum adiministrasi.[13]
Bab XIV Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang Penyidikan dan Pembuktian. Selain penyidik pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlingungan dan pengelolaan lingkungan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagai dimaksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil antara lain sebagai berikut :
a.       Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporana atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
c.       Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
d.      Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain merkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
e.       Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup.
f.        Meminta bantuan ahli dalam rangka tugas penyidikan. 7) menghentikan penyidikan
g.      Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana atau menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Adapun untuk pembuktian diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan terdiri atas; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sistem pembuktian yang harus dilakukan penggugat atau aparat penegak hukum merupakan problem pembuktian yang sulit dan pelik selama ini. Karena aparat penegak hukum akan mengalami kesulitan terutama dalam masalah pembuktiannya yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sangat tehnis untuk menentukan klasifikasi ataupun unsur-unsur yang harus dipenuhi sehingga dikatakan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan. Kemudian juga adanya keterbatasan pengetahuan tentang permasalahan, sarana, prasarana, dana maupun pemahaman terhadap substansi hukum karena rata-rata korban adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan kondisi ekonominya lemah.
Dalam tindak pidana lingkungan bagi korporasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur hal-hal antara lain :
a.         Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
1.        Badan usaha; dan/atau
2.        Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
b.         Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
c.         Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
d.        Terhadap tindak pidana badan hukum, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan selaku pelaku fungsional.
e.         Badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
1.        Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
2.        Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
3.        Perbaikan akibat tindak pidana;
4.        Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5.        Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Sanksi bagi Tindak pidana lingkungan secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Hal yang memberikan perbedaan dengan sanksi pidana biasa pada tindak pidana lingkungan terdapat pada pidana tambahan dan pengkajian lebih lanjut antara lain :
a.       Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana belum terdapatpengaturan lebih tegas mengenai manfaat dan peruntukan perampasan keuntungan yang dimaksud.
b.      Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan sebenarnya dapat juga dijatuhkan melalui sanksi administrasi yaitu pencabutan izin usaha melalui Pengadilan Tata usaha Negara.
c.       Perbaikan akibat tindak pidana masih belum dapat didefinisikan secara jelas mengingat perbaikan akibat tindak pidana khususnya bagi kerusakan lingkungan menjadi tidak terukur dan dapat menjadi tumpang tindih dengan kewajiban pemulihan lingkungan pada penegakan hukum perdata;
d.      Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak cukup sulit didefinisikan, dikarenakan dalam pencemaran berat atau perusakan lingkungan cenderung fungsi lingkungan akan sulit untuk dipulihkan ke keadaan semula.
e.       Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun dalam pelaksanaannya diperlukan manager lingkungan yang bertugas mengembalikan fungsi manajemen lingkungan korporasi sebagaimana sebelum terjadi pencemaran atau perusakan, pada dasarnya sanksi tambahan ini ditujukan untuk tetap menjaga keberlangsungan kegiatan korporasi, namun bentuk dan pengaturannya belum secara tegas dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

3.      Bidang Perdata
Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti rugi bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif yang telah digunakan tidak memadai. [14]
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat dalam pasal 85-96.yang mana sanksi ini dapat ditempuh dengan 2 jalan, diluar pengadilan dan melalui pengadilan Pada sanksi ini leih menekankan pada aspek ganti rugi atau pemulihan lingkungan, setiap orang atau pengusaha yang melakukan perusakan lingkungan atau tindakan pencemaran dan menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup mewajibkan penanggung jawab mengganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu untuk memperbaiki keadaan lingkungan tersebut. Selanjutnya tata cara menggugat dang anti kerugian diatur dalam pasal 1365 BW.
Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang kewajiban penanggung jawab usaha untuk memberi ganti rugi kepada orang atau lingkungan yang dirugikan. Selain korban maka organisasi lingkungan hidup juga dapat meminta pertanggungjawaban perdata kepada pelaku kegiatan usaha.
Akan tetapi apabila gugatan tersebut dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup, permintaan yang dapat diajukan hanya sebatas melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran nyata. Sehingga bagi masyarakat yang menderita kerugian akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dapat melakukan-gugatan secara bersama-sama dengan cara gugatan perwakilan kelompok. Hal terpenting dalam melakukan gugatan ini, kelompok masyarakat dapat menempuh cara-cara diluar pengadilan yang dikenal dengan mekanisme alternatif pnyelesaian sengketa.

B.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
Efektivitas hukum dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kesesuaian antara cita-cita yang terkandung di dalam substansi hukum dengan realitas berlakunya hukum tersebut di dalam masyarakat. Hukum dianggap kurang atau tidak efektif apabila terdapat disparitas antara realita hukum dan ideal hukum, sehingga hukum tersebut harus dirombak dan disusun kembali. Kalau ideal hukum itu mengacu kepada tujuan atau cita-cita yang terkandung di dalam isi/substansi hukum, realita hukum mengacu kepada pengertian penerapan hukum yang indikatornya adalah kesadaran dan atau kepatuhan hukum yang tercermin dalam perilaku warga masyarakat tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa efektivitas hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari konsep kesadaran hukum dan atau kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri.
Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin, sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dapat dilihat dari dua sistem atau strategi yang berkarakter pembenahan peraturan dan pemberian sanksi (sanctioning dengan penal style). Oleh karena itu merupakan suatu keharusan dalam pengaturan mengenai lingkungan dimasukkan ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat berjalan secara efektif. Walaupun sanksi pidana telah dimasukkan, namun penegakan hukum di bidang lingkungan ini belum juga mencapai hasil yang optimal. Potret penegakan hukum lingkungan di Indonesia pada kenyataannnya tidak menunjukkan kecenderungan semakin membaik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Berdasarkan laporan ICEL (Indonesian Centre of Environmental Law) indikator makin suramnya penegakan hukum lingkungan, antara lain, diperlihatkan dengan gagalnya berbagai upaya penegakan hukum lingkungan yang diprakarsai pemerintah ataupun mayarakat. Krisis ekonomi yang terjadi serta kebijakan investasi yang tidak dilengkapi dengan upaya perwujudan prinsip-prinsip good sustainable development governannce justru melahirkan kebijakan yang mendukung dilakukannya eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan pertambangan di areal hutan lindung misalnya, justru melahirkan prinsip transgenetik yang mengabaikan ‘prinsip kehati-hatian’.
Ada empat hal yang dicermati oleh ICEL mengenai gagalnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu :[15]
a.         Politik pembangunan ekonomi yang mengacu pada paradigma pertumbuhan (growth) dan ketiadaan komitmen untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan (good sustainable development governance), telah menyebabkan semakin terpuruknya penegakan hukum lingkungan dan melanggengkan proses eksploitasi sumber daya alam.
b.         Peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Lingkungan yang telah ada tidak memiliki kemampuan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan lemahnya penegakan hukum lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam.
c.         Aparat penegak hukum tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman serta keutuhan atau kesatuan yang cukup untuk menangani kasus-kasus lingkungan
d.        Tidak adanya peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan rendahnya akses masyarakat terhadap keadilan sangat berpotensi terjadinya amuk massa dalam penyelesaian kasus lingkungan
I.S Susanto menyimpulkan, bahwa terdapat minimal empat dimensi yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum lingkungan yaitu adanya Undang-undang lingkungan secara nyata, pelanggar hukumnya sendiri, korban (masyarakat), dan aparat penegak hukum, dimana keempat dimensi tersebut bersifat saling mempengaruhi dan berlangsung dalam satu wadah struktur politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada keadaan tertentu.[16]
Penegakan hukum lingkungan sangat dipengaruhi pula oleh faktor berfungsinya hukum lingkungan tersebut dalam masyarakat. Berbicara berfungsinya hukum dalam masyarakat biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak dalam masyarakat. Apabila dikaji secara lebih mendalam, agar hukum berfungsi di dalam masyarakat maka hukum harus memenuhi unsur filosofis, ekologis, sosiologis, dan yuridis. Hal ini dikarenakan apabila hukum hanya berlaku secara yuridis saja maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati. Apabila hanya berlaku secara sosiologis saja maka kaidah hukum hanyalah merupakan alat paksa, dan apabila hukum hanya berlaku secara filosofis saja maka mungkin hukum hanyalah sesuatu yang dicita-citakan saja.[17]
Selanjutnya agar hukum lingkungan benar-benar berfungsi dalam masyarakat maka harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a.       Hukum atau peraturan itu sendiri, seperti apakah peraturan yang ada sudah sistimatis, secara hirarkhie tidak ada pertentangan, telah mengakomodasikan seluruh kepentingan, dan telah sesuai dengan persyaratan yuridis formil.
b.      Petugas yang menegakannya seperti sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada, sampai batas mana petugas memberikan kebijakan, dan apakah kewenangan petugas hukum telah cukup memamadai.
c.       Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum seperti apakah fasilitas hukum setiap saat berfungsi, apakah fasilitasnya sudah lengkap, dan apakah fasilitas yang rusak telah diganti.
d.      Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut seperti apakah warga masyarakat mengetahui dan memahami akan hak-hak dan kewajibannya, apakah kepentingan masyarakat telah dilindungi, dan apakah terdapat kepastian hukum bagi masyarakatnya.[18]
Masih sering terjadinya pencemaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan atau industri dan masih rendahnya ketaatan dan kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat untuk menjaga lingkungan yag bersih dan sehat menjadi indikator bahwa penegakan hukum terhadap pengelolaan lingkungan yang bersih dan sehat belum berjalan. Dengan demikian secara implementasi efektivitas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih rendah hal ini dikarenakan penegakan hukum terutama dalam masalah pembuktian sulit dilakukan dan pengawasan dalam rangka pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup dapat dikatakan masih jalan ditempat.

IV.     KESIMPULAN
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif, berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa nyata yang menimbulkan  sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar.
Alat bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat / aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara berulang-ulang, pelaku sendirilah yang harus menghentikan keadaan itu.





























DAFTAR PUSTAKA


Siahaan N.H.T, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009.
M. Ridha Saleh, Lingkungan Hidup: Untuk Kehidupan Tidak Untuk Pembangunan, Kertas posisi WALHI, Jakarta, Oktober 2004.
Askin Mohammad, Hukum Lingkungan, Yayasan Peduli Energi Indonesia (YPEI), Jakarta, 2008.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga University Press, Malang, 2005.
Moh Soerjani, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta, 1987.
SF. Marbun, et., all, Butir-butir Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogjakarta, 2001.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996.
Rosa Vivien Ratnawati, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 2009.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Mas Achmad Santosa, Membentuk Pemerintahan Peduli Lingkungan dan Rakyat, ICEL, Jakarta, 2000.
I.S Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realita Sosial, Majalah Masalah-Masalah Hukum Nomor 9, Tahun 1992.
Soerjono Soekamto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1986.



[1] Siahaan N.H.T, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, hal. 2.
[2] M. Ridha Saleh, Lingkungan Hidup: Untuk Kehidupan Tidak Untuk Pembangunan, Kertas posisi WALHI, Jakarta, Oktober 2004.
[3] Askin Mohammad, Hukum Lingkungan, Yayasan Peduli Energi Indonesia (YPEI), Jakarta, 2008, hal. 45
[4] Ibid., hlm. 48.
[5] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga University Press, Malang, 2005, hal. 7
[6] Moh Soerjani, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 187.

[7] SF. Marbun, et., all, Butir-butir Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogjakarta, 2001, hal. 63. 
[8] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hal. 390
[9] Siti Sundari Rangkuti, op. cit., hal. 190
[10] I bid., hal. 191
[11] Rosa Vivien Ratnawati, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 2009, hal. 2-3
[12] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 16
[13] I bid., hal. 14
[14] Siti Sundari Rangkuti, Op Cit., hal. 191
[15] Mas Achmad Santosa, Membentuk Pemerintahan Peduli Lingkungan dan Rakyat, ICEL, Jakarta, 2000, hal. 7-10
[16] I.S Susanto, Pemahaman Kritis Terhadap Realita Sosial, Majalah Masalah-Masalah Hukum Nomor 9, Tahun 1992
[17] Soerjono Soekamto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 52
[18] I bid., hal. 53

 

0 komentar: