KONSEP
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA
Bye : Pengacara Semarang
I. PENDAHULUAN
Lingkungan
hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan setiap orang. Manusia
bernafas dan mendapat terang cahaya karena ada udara dan matahari, demikian
juga kebutuhan manusia dengan mendapat makan, minum, bertani, membuat rumah,
mandi dan berteduh adalah dari lingkungan.[1] Luas
daratan Indonesia sebesar 191,944,000 ha, dimanfaatkan untuk pertambangan seluas 66.891.496
ha, Hak Pemilikan Hutan seluas 38.025.891 ha, Hak Tebang Industri seluas 7.861.251 ha, Perkebunan
Kelapa Sawit seluas2.957.079 ha, Hutan Lindung seluas 31.900.000 ha, dengan
demikian seluruhnya berjumlah 170.935.717 ha, dan yang tersisa adalah
21.008.283 ha.
Dampak
dari berbagai kegiatan yang bersifat eksploitasi tersebut
paling besar dirasakan oleh masyarakat
sekitar, misalnya seperti yang dialami oleh Masyarakat adat Amugme dan Komoro di Papua, di wilayah
ini terdapat operasi pertambangan emas dan tembaga yang berlangsung lama
dengan skala eksploitasi besar, menyebabkan musnahnya ekologi wilayah setempat di
antaranya pencemaran
sungai dan danau, hilangnya hutan dan keragaman hayati di dalamnya, hujan asam, pengaruh
terhadap kesuburan tanah. Hal lain juga menyebabkan hilangnya keragaman budaya masyarakat
setempat karena musnahnya ekosistem masyarakat adat.[2]
Praktek Good Environmental Governace dalam
beberapa tahun ini di Indonesia menjadi sorotan publik. Kerusakan lingkungan dan
menurunnya kualitas lingkungan seringkali dihubung-hubungkan bahkan sering dinyatakan
bahwa penyebabnya adalah adanya Environmental Governace yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang semestinya. Kondisi ini sebagai akibat dari
penyelengaraan corporate governance yang tidak memenuhi standar pengelolaan suatu
institusi atau perusahaan. Penyimpangan ini ditandai dengan lemahnya penegakan
hukum, pengadilan yang tidak mandiri, dan budaya KKN dalam aparatur birokrasi, dan
kurang maksimalnya peran masyarakat.[3]
Program pembinaan hukum lingkungan secara
terpadu memang merupakan keharusan mengingat luasnya cakupan sektor
pembangunan yang harus dikelola secara simultan. Hal ini menuntut kalangan
hukum untuk melakukan pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral.
Beberapa sektor yang terkait dapat disebutkan diantaranya sektor kependudukan, kesehatan,
transmigrasi, pemukiman dan perumahan, pertambangan, perindustrian,
pertanian, kehutanan, kelautan, perdagangan, perikanan, pengairan, penataan
ruang, dan sektor-sektor lain.[4]
Tonggak sejarah politik hukum dari jaman
kolonial ke jaman nasional dimulai tanggal 17 Agustus 1945 dengan adanya
pernyataan Proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Semua aturan yang dibuat
dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan masyarakat harus
bersumber kepada sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila dan sumber
tertib hukum yang tertinggi Undang- Undang Dasar 1945. Kebijaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah menyangkut pertanyaan “apa yang
ingin dicapai, bagaimana dan jalan apa, dengan cara apa pengelolaan lingkungan dilaksanakan.[5]
Pengaturan permasalahan lingkungan hidup di Indonesia mengalami
beberapa lompatan besar sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan terakhir digantikan dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Salah satu yang menjadi perhatian dalam ketiga undang-undang ini
adalah makin kuatnya peran negara dalam rangka menyediakan lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai sarana rakyat Indonesia berkehidupan. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menyatakan bahwa lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara Indonesia. Pokok persoalan lingkungan hidup di negara maju
dan negara berkembang adalah terletak pada ketidak seimbangan dalam lingkungan
hidup yang merupakan hal pokok bagi pri kehidupan manusia.[6]
Landasan
fisolosois,
sosiologis dan yuridis dan pembentukan
undang-undang mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain, adalah dalam rangka untuk mendayagunakan sumber daya alam (SDA) guna memajukan kesejahteraan umum, seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila. Untuk hal itulah, maka dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu, menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Berdasarkan dari uraian
tersebut di atas, penulis tertarik untuk membuat makalah hukum lingkungan
berkaitan dengan konsep penegakan hukum lingkungan di Indonesia yang berlaku
setelah diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
II. RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang tersebut di atas, dirumuskan permasalah sebagai berikut
:
1. Bagaimanakah konsep penegakan hukum
lingkungan di Indonesia?
2. Factor-faktor
apa saja yang mempengaruhi penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, hukum lingkungan
merupakan instrumen administrasi negara dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Hukum lingkungan menjadi pedoman dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Norma perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup menjadi pedoman dalam penyelenggaraan perizinan bidang
lingkungan hidup.
Penaatan dan Penegakan hukum lingkungan tidak hanya melalui proses di pengadilan dan
penegakan hukum tidak hanya merupakan tanggung jawab
aparat penegak hukum. Karena
penegakan hukum dapat dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan
berbagai sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi
perdata, dan sanksi pidana, serta penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh masyarakat.
1.
Bidang
Administrasi
Menurut Sthal sebagaimana dikutip oleh Masbudi, unsur pokok negara
hukum yang dikemukakan oleh para pendahulunya, perlu
ditambah 2 (dua) unsur pokok lagi, pertama, setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu. Dalam hal ini negara,
baru dapat bertindak menyelenggarakan kepentingan rakyat kalau sudah ada undang-undang
untuk tindakan tersebut. Kedua, peradilan
administrasi untuk menyelesaikan perselisihan antara penguasa dan rakyat dengan
persyaratan, peradilan tersebut harus tidak memihak dan pelaksanaannya harus dilakukan
oleh ahli hukum dalam bidang tersebut.[7]
Dalam suatu negara hukum, hukum
yang baik adalah hukum yang diterima oleh rakyat, karena mencerminkan kesadaran
hukum dari rakyat. Untuk melaksanakan hukum yang baik tersebut diperlukan
wewenang perangkat administrasi negara yang terbatas atau dibatasi oleh hukum. Instrument
hukum administratif berbeda dengan instrument lainnya, oleh karena
penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan.
Dengan demikian efektifitasnya sangat
tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administrative tercantum
dalam pasal 76-83 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Berdasarkan ketentuan tersebut pelanggar dapat diperingati
agar berbuat sesuai ijin dan apabila tidak akan dikenakan sanksi pencabutan
ijin usaha oleh pejabat yang berwenang.
Sesuai Pasal 71
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Ayat (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis
yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Ayat (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur,
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan
pejabat fungsional.
Instrument hukum administratif
berbeda dengan instrument lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan
demikian efektifitasnya sangat
tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif
tercantum dalam Pasal 76-83 Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan ketentuan tersebut
pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai ijin dan
apabila tidak akan dikenakan
sanksi pencabutan ijin usaha oleh pejabat yang berwenang.
Di dalam Pasal 76
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mengatur tentang sanksi administrasi. Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan
sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam
pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi
administratif terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan
izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan.
Pasal 80 ayat (1)
mengatur tentang paksaan pemerintah kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang yang
melanggar izin lingkungan berupa :
a.
Penghentian
sementara kegiatan produksi
b.
Pemindahan
sarana produksi
c.
Penutupan
saluran pembuangan air limbah atau emisi
d.
Pembongkaran
e.
Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran
f.
Penghentian
sementara seluruh kegiatan
g.
Tindakan
lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pengenaan paksaan
pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguranapa bila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a. Ancaman yang sangat serius bagi
manusia dan lingkungan hidup,
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran atau kerusakannya.
Upaya yang lebih dulu harus
dilakukan adalah upaya yang bersifat compliance
yaitu penaatan hukum atau pemenuhan peraturan, atau
penegakkan preventif dengan pengawasan preventifnya.
[8]
Siti Sundari Rangkuti
berpendapat bahwa penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif
sesuai dengan sifat dan efektivitasnya.
Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa
pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada
peraturan tanpa kejadian langsung
yang menyangkut peristiwa kongkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar, adapun instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah
:
a. Penyuluhan.
b.
Pemantauan dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan seperti
pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan
sebagainya.[9]
Berdasarkan hal tersebut dengan
demikian penegak hukum yang paling utama adalah aparat pemerintah yang berwenang memberi
izin. Penegakan hukum
yang represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar
peraturan. Selanjutnya menurutnya instrumen penegakan
hukum adalah sarana
administratif yang bersifat preventif dan bertujuan menegakan
peraturan perundang-undangan lingkungan.
Sarana administratif dapat
diterapkan terhadap kegiatan yang menyangkut persyaratan
perizinan. Sarana
administrasi dengan sanksi administrasinya mempunyai fungsi
instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang.
Sarana penegakan hukum
administratif adalah :
a.
Paksaan
pemerintahan atau tindakan paksa (Bestuursdwang).
b.
Uang paksa (Publiek
rechtelyhe dwangsom).
c.
Penutupan tempat
usaha (Sluiting van een inreichting).
d.
Penghentian
kegiatan mesin perusahaan (Buitengebruik stelling van een
toestel)
Pengutamaan
penegakan hukum melalui sarana hukum administrasi terutama berpijak pada
beberapa alas an utama :
a.
Befungsi sebagai saran
pengendalian, pencegahan dan penanggulangan perbuatan ang dilarang.
b.
Instrument yuridis
hukum administrasi yang bersifat preventif dan berfungsi untu mengakhiri atau
menghentikan pelanggaran lingkungan.
c.
Bersifat reparatoir
(memulihkan keadaan semula).
d.
Sanksi administrasi
tidak perlu melalui proses pengadilan yang memakan waktu lama dan bertele-tele.
e.
Sebagai sarana
pencegahan dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dan waktu penyelesaian
dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana.
f.
Biaya penegakan hukum
administrasi yang meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian
laboratorium lebih urah dibandingkan dengan biaya pengumpulan bukti dan biaya
saksi untuk membuktikan aspek kausalitas(hubungan sebab akibat) dalam kasus
pidana dan perdata.[11]
2.
Bidang
Pidana
Dalam
pemberian sanksi pidana Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan sanksi maksimum yang terdapat pada
pasal 98-120. Dalam penerapan instrument hukum pidana pada dasarnya bersifat
sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum
lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan
lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Meskipun
tidak selalu dikatakan sebagai respons yang berhubungan dengan kelemahan KUHP
lama, di luar KUHP telah muncul berbagai perkembangan hukum. Di bidang sumber
daya alam dan lingkungan hidup, berbagai undang-undang baru muncul
(undang-undang sektoral), yang masing-masingnya dicanteli dengan pengaturan
tentang tindak pidana. Sebagian tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana
administrasi,2 seperti pengaturan di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur sanksi pidana dengan pola double-track
system, yaitu memuat sanksi pidana dan sanksi berupa tindakan tata tertib.[12]
Pidana
administrasi tersebar di berbagai undang-undang sektoral di Indonesia. Pidana
ini merupakan bagian dari sanksi administrasi karena dikenakan kepada
pelanggaran-pelanggaran atas hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief,
hukum administrasi pada dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum pengaturan (regulatory
rules), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan
mengatur/pengaturan maka hukum pidana administrasi sering disebut sebagai hukum
pidana pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (ordnungstrafrecht/ ordeningstrafrecht).
Selain itu, kata Barda, istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata
pemerintahan, sehingga istilah hukum pidana administrasi juga ada yang menyebutnya
sebagai hukum pidana pemerintahan (verwaltungsstrafrehct/ bestuursstrafrehct).
Dengan
demikian, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan
hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan atau menegakan hukum administrasi.
Jadi, pidana administrasi merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum
pidana di bidang hukum adiministrasi.[13]
Bab XIV Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang Penyidikan dan Pembuktian. Selain
penyidik pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlingungan dan pengelolaan lingkungan lingkungan hidup diberi wewenang
sebagai penyidik sebagai dimaksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Wewenang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil antara lain sebagai
berikut :
a.
Melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporana atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
b.
Melakukan pemeriksaan
terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
c.
Meminta
keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
d.
Melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain merkenaan dengan tindak pidana
di bidang lingkungan hidup.
e.
Melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup.
f.
Meminta bantuan ahli
dalam rangka tugas penyidikan. 7) menghentikan penyidikan
g.
Melakukan penggeledahan
terhadap badan, pakaian, ruangan atau tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana atau menangkap dan menahan pelaku
tindak pidana.
Adapun untuk pembuktian diatur dalam Pasal
96 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, alat bukti yang sah dalam tuntutan
tindak pidana lingkungan terdiri atas; keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Sistem pembuktian yang harus dilakukan
penggugat atau aparat penegak hukum merupakan problem pembuktian yang
sulit dan pelik selama ini. Karena aparat penegak hukum akan mengalami
kesulitan terutama dalam masalah pembuktiannya yang berkaitan dengan hal-hal
yang bersifat sangat tehnis untuk menentukan klasifikasi ataupun unsur-unsur
yang harus dipenuhi sehingga dikatakan sebagai pelaku tindak pidana
lingkungan. Kemudian juga adanya keterbatasan pengetahuan tentang
permasalahan, sarana, prasarana, dana maupun pemahaman terhadap substansi hukum karena rata-rata
korban adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan kondisi
ekonominya lemah.
Dalam tindak pidana lingkungan bagi korporasi,
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur
hal-hal antara lain :
a.
Apabila tindak
pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
1.
Badan usaha;
dan/atau
2.
Orang yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
b.
Apabila tindak
pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan
secara sendiri atau bersama-sama.
c.
Jika tuntutan
pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin
tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga.
d.
Terhadap tindak
pidana badan hukum, sanksi pidana dijatuhkan kepada
badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili
di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundangundangan selaku
pelaku fungsional.
e.
Badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib
berupa:
1.
Perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana;
2.
Penutupan seluruh
atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
3.
Perbaikan akibat
tindak pidana;
4.
Pewajiban mengerjakan
apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5.
Penempatan perusahaan
di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Sanksi bagi Tindak pidana lingkungan secara jelas telah
diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan. Hal yang memberikan perbedaan dengan sanksi
pidana biasa pada tindak pidana lingkungan terdapat pada
pidana tambahan dan
pengkajian lebih lanjut antara lain :
a.
Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana belum terdapatpengaturan lebih
tegas mengenai manfaat dan peruntukan perampasan keuntungan yang dimaksud.
b.
Penutupan seluruh
atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan sebenarnya dapat juga dijatuhkan melalui sanksi
administrasi yaitu pencabutan
izin usaha melalui Pengadilan Tata usaha Negara.
c.
Perbaikan akibat
tindak pidana masih belum dapat didefinisikan secara
jelas mengingat perbaikan akibat tindak pidana khususnya
bagi kerusakan lingkungan
menjadi tidak terukur dan dapat menjadi tumpang tindih
dengan kewajiban pemulihan lingkungan pada penegakan
hukum perdata;
d.
Pewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak cukup sulit
didefinisikan, dikarenakan dalam pencemaran berat atau
perusakan lingkungan
cenderung fungsi lingkungan akan sulit untuk dipulihkan ke
keadaan semula.
e.
Penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
dalam pelaksanaannya diperlukan manager lingkungan yang
bertugas
mengembalikan fungsi manajemen lingkungan korporasi
sebagaimana sebelum
terjadi pencemaran atau perusakan, pada dasarnya sanksi
tambahan ini ditujukan untuk tetap menjaga
keberlangsungan kegiatan korporasi,
namun bentuk dan pengaturannya belum secara tegas dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
3.
Bidang
Perdata
Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian
sengketa dengan cara gugatan lingkungan untuk memperoleh
ganti rugi bagi korban pencemaran
akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya
individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan
hukum lingkungan dilakukan
oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif yang telah
digunakan tidak memadai. [14]
Ketentuan
hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam Undang-Undang Nomor
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat
dalam pasal 85-96.yang mana sanksi ini dapat ditempuh dengan 2 jalan, diluar
pengadilan dan melalui pengadilan Pada sanksi ini leih menekankan pada aspek
ganti rugi atau pemulihan lingkungan, setiap orang atau pengusaha yang
melakukan perusakan lingkungan atau tindakan pencemaran dan menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup mewajibkan penanggung jawab
mengganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu untuk memperbaiki keadaan
lingkungan tersebut. Selanjutnya tata cara menggugat dang anti kerugian diatur
dalam pasal 1365 BW.
Pasal 87 Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang kewajiban penanggung jawab usaha untuk memberi ganti
rugi kepada orang atau lingkungan yang dirugikan. Selain korban maka
organisasi lingkungan hidup juga dapat meminta pertanggungjawaban perdata kepada
pelaku kegiatan usaha.
Akan tetapi
apabila gugatan tersebut dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup, permintaan
yang dapat diajukan hanya sebatas melakukan tindakan tertentu, kecuali biaya
atau pengeluaran nyata. Sehingga bagi masyarakat yang menderita kerugian akibat
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dapat melakukan-gugatan secara
bersama-sama dengan cara gugatan perwakilan kelompok. Hal terpenting
dalam melakukan gugatan ini, kelompok masyarakat dapat menempuh cara-cara
diluar pengadilan yang dikenal dengan mekanisme alternatif pnyelesaian sengketa.
B.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
Efektivitas hukum dapat dijelaskan sebagai
suatu keadaan dimana terjadi kesesuaian antara cita-cita yang terkandung
di dalam substansi hukum dengan realitas berlakunya hukum tersebut di dalam
masyarakat. Hukum dianggap kurang atau tidak efektif apabila terdapat
disparitas antara realita hukum dan ideal hukum, sehingga hukum tersebut harus dirombak dan
disusun kembali. Kalau ideal hukum itu mengacu kepada tujuan atau cita-cita
yang terkandung di dalam isi/substansi hukum, realita hukum mengacu kepada
pengertian penerapan hukum yang indikatornya adalah kesadaran dan atau
kepatuhan hukum yang tercermin dalam perilaku warga masyarakat tersebut. Maka
dapat dikatakan bahwa efektivitas hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak
terlepas dari konsep kesadaran hukum dan atau kepatuhan hukum dari masyarakat
itu sendiri.
Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin,
sebagaimana dikutip oleh Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa penegakan hukum
lingkungan pada dasarnya dapat dilihat dari dua sistem
atau strategi yang berkarakter
pembenahan peraturan dan pemberian
sanksi (sanctioning dengan penal
style). Oleh karena itu merupakan suatu keharusan dalam
pengaturan mengenai
lingkungan dimasukkan ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan
hukum lingkungan itu sendiri dapat berjalan secara
efektif. Walaupun sanksi pidana
telah dimasukkan, namun penegakan hukum di bidang lingkungan ini
belum juga mencapai hasil yang optimal. Potret penegakan
hukum lingkungan di Indonesia
pada kenyataannnya tidak menunjukkan kecenderungan semakin
membaik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.
Berdasarkan laporan ICEL (Indonesian
Centre of Environmental Law) indikator makin suramnya penegakan hukum lingkungan,
antara lain, diperlihatkan dengan gagalnya berbagai upaya penegakan hukum lingkungan yang diprakarsai
pemerintah ataupun mayarakat. Krisis ekonomi yang terjadi
serta kebijakan investasi
yang tidak dilengkapi dengan upaya perwujudan prinsip-prinsip good
sustainable development governannce justru melahirkan kebijakan yang
mendukung dilakukannya eksploitasi sumber daya alam.
Kebijakan pertambangan di
areal hutan lindung misalnya, justru melahirkan prinsip transgenetik yang
mengabaikan ‘prinsip kehati-hatian’.
Ada empat hal yang dicermati oleh ICEL
mengenai gagalnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu
:[15]
a.
Politik pembangunan
ekonomi yang mengacu pada paradigma pertumbuhan (growth) dan ketiadaan komitmen untuk
mewujudkan prinsip
pembangunan berkelanjutan (good sustainable development
governance),
telah menyebabkan semakin terpuruknya penegakan hukum lingkungan dan melanggengkan proses eksploitasi
sumber daya alam.
b.
Peraturan perundang-undangan
di bidang Pengelolaan Lingkungan
yang telah ada tidak memiliki kemampuan untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan lemahnya
penegakan hukum
lingkungan serta eksploitasi sumber daya alam.
c.
Aparat penegak
hukum tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman serta keutuhan atau kesatuan yang cukup untuk
menangani kasus-kasus
lingkungan
d.
Tidak adanya peran
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan rendahnya akses masyarakat terhadap keadilan sangat
berpotensi terjadinya
amuk massa dalam penyelesaian kasus lingkungan
I.S Susanto
menyimpulkan, bahwa terdapat minimal empat dimensi yang
dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum lingkungan
yaitu adanya Undang-undang lingkungan secara nyata, pelanggar hukumnya sendiri, korban (masyarakat), dan aparat penegak hukum, dimana keempat
dimensi tersebut bersifat
saling mempengaruhi dan berlangsung dalam satu wadah struktur politik,
sosial, ekonomi, dan budaya pada keadaan tertentu.[16]
Penegakan hukum lingkungan sangat dipengaruhi pula oleh faktor
berfungsinya hukum lingkungan tersebut dalam masyarakat.
Berbicara berfungsinya hukum
dalam masyarakat biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah
hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak dalam
masyarakat. Apabila dikaji secara lebih mendalam, agar hukum berfungsi di dalam masyarakat maka hukum
harus memenuhi unsur filosofis, ekologis, sosiologis, dan
yuridis. Hal ini dikarenakan apabila hukum hanya berlaku secara yuridis saja maka kemungkinan besar
kaidah
tersebut merupakan kaidah mati. Apabila hanya berlaku
secara sosiologis saja maka kaidah hukum hanyalah merupakan alat paksa, dan apabila hukum hanya berlaku
secara filosofis saja maka mungkin hukum hanyalah sesuatu
yang dicita-citakan saja.[17]
Selanjutnya agar hukum lingkungan benar-benar berfungsi dalam masyarakat
maka harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
a.
Hukum atau
peraturan itu sendiri, seperti apakah peraturan yang ada sudah
sistimatis, secara hirarkhie tidak ada pertentangan,
telah mengakomodasikan seluruh
kepentingan, dan telah sesuai dengan persyaratan yuridis formil.
b.
Petugas yang
menegakannya seperti sejauh mana petugas terikat oleh
peraturan-peraturan yang ada, sampai batas mana petugas
memberikan kebijakan, dan
apakah kewenangan petugas hukum telah cukup memamadai.
c.
Fasilitas yang
diharapkan mendukung pelaksanaan hukum seperti apakah
fasilitas hukum setiap saat berfungsi, apakah
fasilitasnya sudah lengkap, dan apakah fasilitas yang rusak telah diganti.
d.
Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan
tersebut seperti apakah warga
masyarakat mengetahui dan memahami akan hak-hak dan kewajibannya,
apakah kepentingan masyarakat telah dilindungi, dan
apakah terdapat kepastian hukum
bagi masyarakatnya.[18]
Masih sering terjadinya pencemaran yang dilakukan oleh
pihak perusahaan atau industri dan masih rendahnya ketaatan
dan kepatuhan serta kesadaran warga masyarakat untuk menjaga lingkungan yag
bersih dan sehat menjadi indikator bahwa penegakan hukum terhadap pengelolaan
lingkungan yang bersih dan sehat belum berjalan. Dengan demikian secara
implementasi efektivitas Undang-Undang Nomor 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih rendah hal ini dikarenakan penegakan
hukum terutama dalam masalah pembuktian sulit dilakukan dan pengawasan
dalam rangka pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup dapat
dikatakan masih jalan ditempat.
IV.
KESIMPULAN
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif,
sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif, berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada
peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa nyata yang
menimbulkan sangkaan
bahwa peraturan hukum telah dilanggar.
Alat bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan
penggunaan kewenangan
yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan
sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat / aparat pemerintah yang berwenang
memberi izin dan
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum lingkungan yang bersifat
represif dilakukan dalam
hal perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara
langsung perbuatan
terlarang. Penindakan secara pidana umumnya
selalu menyusuli pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan
akibat pelanggaran
tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara berulang-ulang,
pelaku sendirilah yang harus menghentikan keadaan itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Siahaan
N.H.T, Hukum Lingkungan,
Pancuran Alam, Jakarta, 2009.
M. Ridha Saleh, Lingkungan
Hidup: Untuk Kehidupan Tidak Untuk Pembangunan,
Kertas posisi WALHI, Jakarta, Oktober 2004.
Askin Mohammad, Hukum Lingkungan, Yayasan Peduli Energi Indonesia
(YPEI), Jakarta, 2008.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga
University Press, Malang, 2005.
Moh Soerjani, Lingkungan:
Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1987.
SF.
Marbun, et., all, Butir-butir
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogjakarta, 2001.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1996.
Rosa
Vivien Ratnawati, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup,
Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 2009.
Barda
Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003.
Mas Achmad Santosa, Membentuk
Pemerintahan Peduli Lingkungan dan Rakyat, ICEL, Jakarta,
2000.
I.S Susanto, Pemahaman
Kritis Terhadap Realita Sosial, Majalah Masalah-Masalah
Hukum Nomor 9, Tahun 1992.
Soerjono Soekamto, Kegunaan
Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1986.
[1] Siahaan N.H.T, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam,
Jakarta, 2009, hal. 2.
[2] M. Ridha Saleh, Lingkungan Hidup:
Untuk Kehidupan Tidak Untuk Pembangunan, Kertas
posisi
WALHI, Jakarta, Oktober 2004.
[3] Askin Mohammad, Hukum
Lingkungan, Yayasan Peduli Energi Indonesia (YPEI), Jakarta,
2008, hal. 45
[5] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga
University Press, Malang, 2005, hal. 7
[6] Moh Soerjani, Lingkungan:
Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 187.
[7] SF. Marbun, et., all,
Butir-butir Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, UII Press,Yogjakarta, 2001, hal. 63.
[8] Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum
Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hal. 390
[10] I bid., hal. 191
[11] Rosa Vivien
Ratnawati, Penegakan Hukum Administrasi di Bidang Lingkungan Hidup, Kementrian
Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 2009, hal. 2-3
[12] Barda Nawawi Arief, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 16
[13] I bid., hal. 14
[15] Mas Achmad Santosa, Membentuk
Pemerintahan Peduli Lingkungan dan Rakyat, ICEL, Jakarta, 2000, hal. 7-10
[16] I.S Susanto, Pemahaman Kritis
Terhadap Realita Sosial, Majalah Masalah-Masalah Hukum
Nomor 9, Tahun 1992
[17] Soerjono Soekamto, Kegunaan
Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 52
0 komentar:
Posting Komentar